Entah kenapa tiba-tiba saya menekan salah satu tombol ponsel sehingga keluar sebuah nama seorang sahabat yang sudah sekian pekan tak bersua, juga tak saling berkabar. Ada gerakan yang tanpa menunggu instruksi untuk kemudian menekan tombol "yes" untuk memanggil nama tersebut. Setelah sekian lama bercuap, tertawa dan melepas rindu, kami berjanji untuk bertemu keesokan harinya.
Apa yang kita pikirkan kadang jauh meleset dari kenyataan yang sesungguhnya tengah terjadi. Adakalanya sesuatu yang kita anggap berjalan biasa-biasa saja, tanpa sepengetahuan kita ternyata telah terjadi perubahan yang sedemikian cepat karena berjalan tidak biasa, atau bahkan luar biasa. Suatu hal sering kali kita anggap remeh dan bukan hal penting untuk dilakukan, seperti menelepon seorang sahabat, misalnya. Namun ternyata, kita sering terperangah saat sadar kekuatan dari yang kita anggap ‘hal biasa’ itu.
"Jangan lupa bawa isteri dan anakmu ya ..." satu kalimat menutup pembicaraan kami.
Sampai hari ketika kami bertemu, saya masih menganggap semuanya berlangsung biasa saja. Sahabat saya tetap masih seperti dulu dengan potongan rambutnya sedikit menjuntai di bagian depan, mata sayunya yang terlihat mengantuk dan juga kaos lengan panjang yang menjadi ciri khas penampilannya. Begitu pula isterinya, seorang wanita sederhana bersahaja yang sangat menghormati suaminya.
Tapi, sepuluh menit kemudian semuanya baru terungkap. Ya, yang selama ini saya anggap berlangsung apa adanya dan biasa-biasa saja terbantahkan. Sahabat saya mengaku, kalau saja saya tak meneleponnya pagi itu untuk berjanji bertemu, mungkin akan lain ceritanya. Ia, lanjutnya, pagi itu bersama isterinya tengah dalam perjalanan menuju Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mengurus perceraian mereka. Mereka menganggap pernikahan yang sudah dijalani selama hampir empat tahun tak perlu dipertahankan lagi. Terlalu banyak perbedaan dan perselisihan yang terjadi selama mengarungi bahtera rumah tangga, demikian seterusnya.
Dan, lagi-lagi menurutnya, telepon dari saya membuat mereka membatalkan rencana perceraian dan kembali ke rumah. Satu alasan hingga keputusan itu begitu cepat diambil adalah ucapan saya, "jangan lupa bawa isteri dan anakmu ya ..."
Mereka saling celingukan sesaat sebelum akhirnya sepakat menunda rencana perceraian demi menghormati pertemuan dengan saya. Maklum mereka merasa mendapatkan satu harapan saat akan bertemu dengan saya, mengingat pertemuan mereka hingga ke jenjang pernikahan pun di-rekayasa oleh saya. Saya lah yang memperkenalkan mereka berdua.
Sekali lagi. Tak ada yang bakal menyangka bahwa satu tindakan sederhana, apakah itu silaturahim untuk saling berkunjung, atau sekadar menelepon sahabat yang lama tak kita dengar kabarnya, mungkin bisa menyelamatkan mereka dari kehancuran, apa pun itu. Setidaknya, hingga hari ini pernikahan sahabat saya itu masih bertahan.
Seperti juga ketika dua pekan lalu, tanpa memberi tahu, tanpa konfirmasi, serombongan sahabat-sahabat saya lengkap dengan isteri dan anak-anak mereka tiba-tiba datang ke rumah saya. Sebuah kejutan silaturahim yang tak pernah saya bayangkan, betapa kami masih memiliki cinta yang dengan cinta itu semakin menguatkan ikatan persaudaraan.
Percayakah Anda dengan kekuatan cinta itu? Cobalah, jika bukan Anda, sahabat Anda yang akan merasainya. Wallaahu 'a'lam.