Kembali kepada Ketakwaan

Ibadah puasa yang kita laksanakan pada hakikatnya merupakan sarana bagi kita untuk dapat mencelup dan memperbaiki diri, sehingga di akhir Ramadhan kita menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan lebih baik. Pribadi yang unggul dan lebih baik yang dimaksud tiada lain adalah kita menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa, memiliki moralitas/akhlak yang baik, dan menjadi pribadi-pribadi yang kembali kepada fitrahnya.

Seorang Muslim yang berhasil dalam berpuasa akan memiliki ketakwaan yang sebenar-benarnya, yang tidak hanya berdampak pada kehidupannya secara pribadi, tetapi juga memberikan dampak terhadap lingkungan sekitarnya, yakni ia memiliki kesalehan sosial. Berkaitan dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya, Allah SWT memerintahkan: ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.'' (QS 3: 102).


Kembalinya orang-orang yang berpuasa kepada ketakwaan yang sebenarnya kepada Allah dicirikan dengan keyakinan dan ketaatan dalam menerima semua ketentuan Allah. Maksudnya, orang-orang yang kembali kepada ketakwaan yang paripurna kepada Allah sadar betul akan perjanjian antara dirinya dan Allah yang menciptakannya, yaitu untuk beribadah kepada-Nya.

Allah SWT berfirman: ''Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan, 'Kami dengar dan kami taati.' Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui isi hati(mu).'' (QS. 5: 7).

Dalam ayat lainnya, Allah SWT menegaskan: ''Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil oleh Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, 'Kami mendengar dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.'' (QS 24: 51).

Dalam kaitan ini, orang-orang yang kembali kepada ketakwaan yang sebenarnya akan selalu berbaik sangka kepada Allah. Dan, tidak mungkin mereka akan mengubah suatu hukum yang telah pasti (qath'i) hanya dengan pertimbangan emosional, pemikiran yang dangkal, dan segala macam ketakutan duniawi, seperti hak asasi manusia (HAM), persamaan gender, ataupun inklusivitas yang kebablasan.

Masalah pernikahan beda agama, misalnya. Allah telah melarang pernikahan beda agama dalam firman-Nya: ''Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan, janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.'' (QS 2: 221).

Maka, sikap orang-orang yang benar-benar beriman dan bertakwa akan mendengar dan taat dengan apa yang telah Allah tetapkan. Mereka yakin bahwa apa yang telah Allah tetapkan adalah yang terbaik bagi manusia. Semoga Allah menjadikan kita golongan orang-orang yang dapat meraih predikat bertakwa pada akhir Ramadhan ini.